Kamis, 15 Oktober 2009

Dari Jaman Presiden Soekarno sampai Jaman Presiden Sby, kenapa konflik dua negara tetangga ini selalu saja "terpelihara".

Sekilas memang, seolah-olah konflik yang timbul lebih disebabkan karena kesalahan di antara keduanya dalam membangun dan membina hubungan diplomatik yang konstruktif. Namun jika ditinjau secara lebih komprehensif, muncul dugaan bahwa ada upaya sistematis dan teroganisir untuk menghadapkan kedua negara pada situasi konflik.

Lebih dari itu, siapakah aktor yang sesungguhnya berada di balik konflik kedua negara? Atau dengan kata lain, siapa sebenarnya yang lebih berkepentingan dari konflik antara Indonesia-Malaysia? Dan, untuk apa pemicu konflik ini terus 'dipelihara' dan ditebarkan setiap saat?
Aneka pertanyaan di atas tentu saja harus dijawab secara jernih dan bertanggung jawab. Ketika kasus pengeboman dan tindakan serta serangan terorisme menghantui Indonesia yang didalangi oleh 'putra' Malaysia, Noordin M Top misalnya, banyak pihak mensinyalir bahwa Malaysia terlibat di dalamnya.

Hal ini diperkuat dengan analisis bahwa Indonesia mesti terus diguncang dengan teror dan ancaman, agar tercipta image atau kesan bahwa negara ini memang tidak aman untuk dikunjungi, berinvestasi, apalagi berwisata. Dengan demikian, Malaysia mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi dari buruknya situasi di Indonesia.

Lebih dari itu, dugaan Noordin dilindungi oleh 'negara' begitu kuat adanya, mengingat sulitnya gembong teroris ini ditangkap. Analisis lainnya, dalam situasi ekonomi dunia seperti saat ini (resesi), Indonesia satu-satunya negara di kawasan ini yang mencatat pertumbuhan positif, sementara Malaysia membukukan pertumbuhan ekonomi negatif.

Mengalihkan perhatian dunia kepada Malaysia salah satunya dapat dilakukan dengan mendeskreditkan negara tetangganya, Indonesia, dalam kancah internasional. Poin dan pandangan di atas tentu saja bagian dari analisis pertama dalam upaya menjawab akar konflik kedua bangsa serumpun.

Poin berikutnya adalah boleh jadi konflik kedua negara turut didesain dan dinikmati oleh negara ketiga. Dalam bahasa sederhana, ada penunggang gratis (free rider) dari konflik ini. Pertanyaannya adalah siapakah aktor atau pelaku yang dimaksud? Mungkinkah aktor negara berada di balik semua ini? Mungkinkah Singapura misalnya terlibat?

Singapura juga 'surga' bagi para penjahat, termasuk koruptor, dalam hal ini para pengusaha pengemplang utang asal Indonesia dan Malaysia. Dan yang paling penting, Singapura merupakan kepanjangan tangan (negara satelit)bagi kepentingan Barat (Amerika dan sekutunya, termasuk Israel) di Asia Timur.

Dapat dipahami bahwa, konflik antara Indonesia dan Malaysia akan sangat menguntungkan posisi Singapura sebagai jembatan di Asia Tenggara. Pendekatan dalam politik internasional menjelaskan bahwa salah satu cara dalam menguasai suatu kawasan adalah dengan menempatkan negara satelit.

Teori ini berlaku efektif bagi Amerika, dengan menjadikan Israel sebagai negara satelitnya di Timur Tengah, atau kedigdayaan Uni Soviet pasca Perang Dunia Kedua terlihat jelas dengan menjadikan Polandia sebagai negara satelitnya untuk menguasai Eropa.

Kini, saat konflik terus membesar yang mengarah kepada konflik terbuka antarmasyarakat dalam bangsa serumpun, patut untuk kita mawas diri dan mewaspadai potensi perang terbuka. Identifikasi dipraktikkannya 'psy war' oleh privat ataupun 'state actor' harus dilihat sebagai upaya untuk menggoyahkan kawasan (region) secara umum, dan khususnya konflik terbuka dua negara tetangga ini.

Dengan demikian, perlu menjadi agenda khusus negara untuk menguak tabir tentang potensi 'free rider' dalam konflik Indonesia dan Malaysia.

http://www.kaskus.us/showthread.php?t=2371200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar